Jumat, 08 Mei 2020

Dhuha Sebagai Pembelajaran Reguler merdeka Belajar di SD

Pembiasaan dhuha SD Al Hanief
Merdeka Belajar... dua kata ini belakangan sangatlah populer utamanya tentu saja di dunia pendidikan. Sejak didapuknya Bapak Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menggantikan Bapak Muhadjir Effendy, banyak lontaran-lontaran ide yang beliau gagas menjadi kontroversial,
lantaran dianggap terlalu ekstrem atau radikal dalam mengubah pendidikan di Indonesia.  Beberapa gagasan yang disampaikan Bapak Nadiem diantaranya :
  • Menghapuskan atau meniadakan Ujian Nasional
  • Percepatan waktu tempuh secara umum (bukan akselerasi) jenjang pendidikan dari tingkat SD hingga SMA
  • Memangkas rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) harian para guru dari yang berlembar-lembar menjadi cukup satu lembar
  •  Pengurangan mata pelajaran mulai SD sampai SMA
  •  Hingga merevolusi proses pengajaran para guru di sekolah-sekolah.
 Sebenarnya apa yang dilontarkan Bapak Nadiem merupakan hasil dari pertemuan beliau dengan para tokoh pendidik terutama organisasi ataupun komunitas guru. Jika kita bijak, sebenarnya perubahan adalah keniscayaan yang pasti akan kita hadapi. Cepat atau lambat, perubahan akan menghampiri dimanapun kita berada. Namun, tidak semua orang khususnya guru selalu memandang optimis terhadap setiap perubahan. Slogan ganti menteri ganti kebijakan, atau ganti menteri ganti kurikulum masih melekat dan menjadi semacam habits pada pendidikan di Indonesia. Terbukti sudah beberapa kurikulum yang dipelajari oleh anak-anak bangsa, diantaranya adalah kurikulum 1984 yang dikenal dengan istilah Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), lalu kurikulum 1994 yang menerapkan sistem caturwulan menggantikan sistem semester, selanjutnya kurikulum 2004 yang juga disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Baru berjalan dua tahun muncullah Kurikulum Tingkat satuan pendidikan (KTSP) pada tahun 2006 yang merupakan perbaikan atau penyempurnaan dari KBK. Pada KTSP inilah mulai dikenalkan 8 standar nasional pendidikan (standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana, pembiayaan, penilaian). Dan sekarang yang masih berjalan adalah kurikulum tiga belas (Kurtilas) dengan ciri khasnya adalah memiliki tiga aspek penilaian yakni aspek pengetahuan (kognitif),  aspek ketrampilan (psikomotorik), dan aspek sikap dan perilaku (attitude).
Perubahan kurikulum yang sudah kita jalani selama ini sebenarnya adalah konsekuensi logis akibat terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Karena peradaban pun selalu menemukan jalannya seiring dengan meningkatnya ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki umat manusia. Kurikulum yang dirancangpun mau tidak mau harus bisa mengondisikan anak-anak bangsa sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat domestik maupun dunia. Berdasarkan data yang diperoleh sudah 11 kali Indonesia mengalami pergantian kurikulum, mulai dari kurikulum yang diterapkan pada tahun 1947 hingga sekarang ini yakni kurikulum tiga belas yang dimulai sejak tahun 2013.
Kembali pada pembahasan awal tentang Merdeka Belajar. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan merdeka belajar? Merdeka belajar yang dimaksud adalah semacam label dari penyesuaian kebijakan pokok pendidikan yang disampaikan oleh Bapak Nadiem. Ada empat penyesuaian kebijakan baru yakni terkait dengan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berbasis zonasi. Harapan pemerintah dengan empat pokok kebijakan pendidikan “Merdeka Belajar” ini akan menjadi arah pembelajaran ke depan dan dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sehingga Indonesia mampu berkompetisi secara global di dunia internasional pada masa-masa mendatang.  Empat penyesuaian pokok kebijakan pendidikan nasional yang dilabeli dengan “Merdeka Belajar” tetaplah berfokus pada siswa sebagai pemeran utamanya. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh pemerintah dan dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia tidaklah akan terwujud jika selama proses belajar dan mengajar tidak mampu menyenangkan siswa dan bahkan cenderung menjenuhkan mereka. Merdeka Belajar, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari merdeka salah satunya adalah tidak terikat atau tidak bergantung kepada orang atau pihak tertentu, sedangkan belajar bermakna berusaha memperoleh ilmu atau kepandaian. Jadi implementasi dari makna Merdeka Belajar adalah bagaimana seorang guru mampu mengemas suatu pembelajaran yang leluasa terhadap siswa tidak bergantung kepada format atau acuan yang telah baku sehingga siswa merasa bahagia dalam menerima ilmu yang disampaikan.  Konsep merdeka belajar semestinya menjadi pegangan para guru untuk berani melepaskan diri dari keterikatan maupun ketergantungan yang selama ini menjadi pedoman guru.
Mengacu pada tujuan pendidikan nasional yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakat dan kebangsaan”, jelaslah bahwa pembentukan sikap religius dan akhlak mulia menjadi prioritas utama pendidikan nasional.  Dalam agama Islam tujuan pendidikan nasional ini sangat berkaitan erat dengan hadits Nabi Muhammad SAW. yakni “innama bu’itstu li utammima makarimal akhlak” yang artinya sesungguhnya Aku (Nabi Muhammad) diutus Allah SWT. untuk menyempurnakan akhlak manusia.  Namun dalam implementasinya, sampai saat ini nuansa pembelajaran di sekolah-sekolah negeri khususnya masih jauh dari kesan religius. Mulai dari jam pelajaran agama Islam yang hanya 2-3 jam tiap pekan, kegiatan-kegiatan keagamaan yang belum menjadi prioritas dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat seni maupun akademis/eksakta. Seharusnya pemerintah berani memberikan ruang-ruang bagi semua sekolah khususnya negeri untuk lebih mengekplorasi potensi keagamaan para siswanya. Sebagai contoh, di sekolah kami Al Hanief kegiatan pembelajaran reguler dimulai pukul 08.15. Sebelumnya mulai pukul 07.00 – 08.00 di aula para siswa berdzikir, bersholawat, melantunkan asmaul husna kemudian melakukan kegiatan ikrar mengenai ketauhidan (syahadat) dan keimanan (rukun iman), dilanjutkan dengan sholat dhuha setelah itu membaca Al qur’an.  Setelah itu mereka menuju kelas dan snack break selama 15 menit sebelum memulai pembelajaran reguler. Saya berharap semua sekolah melakukan hal ini, tentu saja berbeda kegiatan untuk mereka yang bukan beragama Islam. Tetapi pada intinya sekolah diberikan ruang seluas-luasnya untuk kegiatan keagamaan.
Pengalaman mengajar selama ini, meyakinkan saya bahwa kegiatan semacam ini sangat luar biasa efek maupun hikmahnya kepada kita semua khususnya para siswa. Beberapa efek maupun hikmah diantaranya :
Ø Tidak semua siswa yang datang ke sekolah dalam kondisi siap belajar, terkadang ada persoalan di rumah yang masih membebani sang anak sehingga hatinya masih terganjal dan belum nyaman. Hal ini bisa kita ketahui saat menyambut anak di pintu gerbang sekolah,  ada yang wajahnya sumringah datang penuh tawa dan canda. Namun ada pula yang tiba di sekolah dengan wajah yang sedih bahkan terkadang masih ada yang menangis saat kami menyambutnya.
Ø Saat berada di aula biasanya kondisi yang kurang menyenangkan anak perlahan mulai berkurang seiring dengan terdengarnya lantunan dzikir, sholawat, dan asmaul husna dari teman-temannya sehingga sang anakpun turut melantunkannya.
Ø Fadhilah sholat dhuha diantaranya adalah untuk mempermudah dalam mendapatkan rezeki termasuk rezeki mendapatkan ilmu yang berkah. Dengan sholat dhuha, para siswa “didekatkan” terlebih dahulu dengan Sang Penguasa Ilmu yakni Allah SWT. sehingga diharapkan Allah akan memudahkan mereka dalam menerima ilmu yang bermanfaat dari kami.
            Sampai saat ini pembiasaan sholat dhuha masih belum menjadi agenda atau jadwal yang rutin bagi kebanyakan sekolah, terutama sekolah-sekolah negeri yang sangat bergantung kepada keputusan maupun kebijakan pemerintah.  Untuk sekolah-sekolah swasta, karena mereka mandiri dalam pembiayaan dan pengelolaan dananya maka keberanian untuk memasukkan sholat dhuha ke dalam jadwal harian dapat dengan segera direalisasikan.     Memang diperlukan keberanian untuk melakukan terobosan yang tidak umum.  Bagi sekolah-sekolah negeri perlu strategi khusus bila ingin menerapkan dhuha sebagai bagian dari pembelajaran rutin sehari-hari.  Sangat dimaklumi karena siswa dari kebanyakan sekolah negeri adalah heterogen, artinya tidak hanya Islam agama yang dianut oleh para siswa.   Negara Indonesia adalah negara  Berketuhanan Yang Maha Esa, jadi sebenarnya tidak perlu terlalu khawatir jika dhuha dijadikan pembiasaan rutin para siswa di sekolah.  Yang terpenting adalah mengakomodir kegiatan para siswa yang non muslim selama sholat dhuha dilaksanakan.  Memang tidak sedikit pula yang nantinya akan mempertanyakan, mengapa sholat dhuha mesti dijadwalkan khusus bukankah dhuha itu dilaksanakan sendiri-sendiri dan waktunya cukup panjang?  Ingat, yang kita fokuskan di sini adalah pembiasaan sholat dhuha di sekolah dasar.  Target utama yang dibidik terhadap siswa SD adalah menumbuhkan, menanamkan, dan membiasakan berbagai karakter mulia termasuk salah satunya dalam hal peribadatan.   Dengan diberlakukannya jadwal dhuha yang tertera di dalam jadwal pelajaran tentu mau tidak mau para siswa akan mengikutinya seperti halnya mengikuti pelajaran yang lain seperti Matematika, IPA, PKn, dan lain sebagainya.  Lagipula selama sholat dhuha berlangsung, contoh di sekolah kami Al Hanief,  anak-anak melakukannya dengan berjamaah dan suaranyapun dikeraskan dengan harapan bagi para siswa yang belum hafal bacaan sholat dan surat-surat Al Qur’an perlahan-lahan akan hafal dengan sendirinya.
            Mendidik itu perlu mempertimbangkan unsur fleksibilitas dan kemaslahatan umat khususnya para anak didik.  Insya Allah jika anak didik sudah terbiasa “dekat” dengan Tuhannya, tentu mereka akan menjadi generasi-generasi penerus sekaligus pelurus.  Semoga saja ke depannya akan ada kebijakan dari pemerintah untuk segera merealisasikan “Gerakan Sholat Dhuha Bagi setiap Siswa SD” di Indonesia.
Sudahkah sekolah anda menjadwalkan kegiatan sholat dhuha dan membaca Al qur’an setiap pagi seperti tercantum dalam jadwal mata pelajaran sebelum pembelajaran reguler dimulai?

#salammerdekabelajar
#salamdhuha







Tidak ada komentar:

Posting Komentar